Sejak dunia memasuki fase Revolusi Industri 4.0, maka digitalisasi mulai merambah ke setiap sendi kehidupan. Di era ini kita didorong — bahkan dipaksakan untuk terbiasa berkomunikasi secara real time dan tanpa batas. Semua mengarah pada aktivitas digital yang memanfaatkan kemajuan teknologi. Bisnis, sosial, politik, dan termasuk pola pengasuhan terhadap anak. Digital parenting.
Pengasuhan di era digital bukan hanya berkaitan dengan perkembangan teknologi itu saja. Lebih penting dari itu adalah karena objek asuhnya. Anak-anak tersebut adalah generasi digital native. Beberapa detik setelah lahir ke dunia, mereka sudah terpapar dengan perangkat digital. Beberapa bulan kemudian wajah mungil itu tidak hanya mulai mengenal bentuk wajah ayah bundanya, tetapi juga mulai mengenal perangkat digital yang sering membersamai orang tuanya.
Lebih lanjut, dengan semakin bertambah usia lazimnya anak-anak itu pun semakin mengenal siapa sosok orang tuanya. Sekarang? Mereka juga mengenal sesuatu yang seakan tidak pernah lepas dari tangan orang tuanya itu. Akhirnya tanpa menunggu hitungan tahun, perangkat itulah yang selalu dirindunya. Saat makan, saat main, saat makan lagi, dan saat main lagi. Selalu ada.
Ajaib, tangisnya pun bisa seketika reda ketika mulai bercengkrama dengan konten-konten yang ada disana. Semakin besar, semakin inten mereka bergaul dengan smartphone atau gadget itu. Aplikasi yang dibuka semakin beragam. Bahkan diantaranya melampaui kepiawaian orang tua mereka. Bahkan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS merilis sejak 3 tahun terakhir (2018 – 2020) terjadi peningkatan jumlah anak yang baru berusia 5 – 12 tahun dalam mengakses internet.
Digital parenting harus disepakati sebagai pola pengasuhan anak di tengah maraknya kehadiran berbagai perangkat digital. Kata kuncinya tetap pada ‘parent’ dan tidak boleh disubstitusikan pada perangkat-perangkat digital.
Oleh karena itu, sebagai orang tua ada beberapa hal yang barangkali harus disistemkan saat menjalankan digital parenting ini. Pertama, anak harus tetap dikenalkan dengan perangkat digital. Proses pengenalannya harus disesuaikan dengan tingkat umur dan perkembangan psikologis. Kedua, orang tua tetap melakukan proses pendampingan ketika anak mengakses perangkat digital tersebut. Jangan biarkan mereka menterjemahkan segala sesuatunya dengan liar berdasarkan sudut pandangnya saja. Meskipun konten-konten tersebut berkategorikan aman untuk anak.
Ketiga, komunikasi anak – orang tua harus dijaga secara intensif. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia anak, tingkat ketergantungan pada perangkat digital juga meningkat. Namun ketika anak sudah mandiri dalam mengoperasikan perangkat digitalnya, orang tua diharapkan tetaplah menjadi tempat bertanya dan curhat sang anak. Kempat, evaluasi. Tidak hanya anak yang dievaluasi. Orang tua juga harus mengevaluasi perannya saat memberikan pengasuhan. Termasuk ketika menggunakan berbagai perangkat digital yang ada. Sehingga evaluasi ini tidak hanya membantu anak untuk tetap aman dan nyaman dalam berselancar di dunia maya, namun juga orang tua bisa upgrade kapasitas diri agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan zamannya anak.
Kalau orang tuanya gaptek, anak-anak itu akan mencari ‘guru’ di luar. Masih menurut catatan BPS, lebih dari 80 persen anak-anak mengakses internet untuk berkelana di sosial media. Rumah barunya.
Kelima dan paling penting adalah keteladanan. Meskipun saat ini kita bebas berkomentar, bebas posting status, dan bebas menuliskan pendapat. Ingat, saat kita melakukan itu dengan bebas tanpa filter, bisa jadi anak-anak kita sendirilah yang mengkonsumsi konten-konten yang kita sajikan itu. Jika kontennya unfaedah, hoaks, dan ujaran kebencian? Jangan heran jika mereka juga ikut-ikutan demikian.
Terakhir adalah terkait dengan intensitas bersama gadget. Sederhananya kalau harapan kita agar anak-anak itu tidak terlalu lengket dengan handphone kesayangan, orang tuanya juga mengakhiri kasmarannya sekaligus membatasi diri dengan handphone kesayangannya. Sebelum sang anak menjadi pecandu konten-konten yang membuatnya lupa diri.
Baca artikel lainnya di – aksaralab.com
sumber : digitlbisa.id